Pembaca,
percayakah engkau kalau ada Gubernur, menteri, DPR, Presiden atau pejabat
pemerintah yang hidupnya serba dalam kekurangan? Mungkin tidak ada untuk zaman
sekarang ini, apalagi di negeri ini yang mau tidak mau dapat dikatakan bahwa
ketika ada seseorang yang menjabat sebagai pemimpin langkah yang pasti
diambilnya adalah bagaimana dapat mengembalikan atau kalau bisa mendapat
keuntungan yang banyak selama ia menjabat karena untuk mengembalikan uang kampanye
yang dilakukan sebelum menjadi pemimpin.
Pembaca,
tentu kita rindu dengan sosok pemimpin yang tidak hanya mementingkan dirinya
sendiri. Pemimpin yang mau bercampur baur dengan rakyatnya. Pemimpin yang tak
pernah bosan mendengar keluhan rakyatnya. Pemimpin yang selalu adil dan
mengayomi. Pemimpin yang sederhana dan tidak menumpuk harta kekayaan.
Rasulullah SAW adalah potret pemimpin yang sangat hebat lagi luar biasa. Betapa tidak, di
saat pemimpin-pemimpin di dunia lainnya asyik dan nyenyak tidur di atas
permadani lembut nan empuk. Beliau justru tidur di atas pelepah kurma yang
sampai-sampai membekas di bahu beliau. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri,
manusia suci nana gung dunia akhirat hidup dalam keadaan seperti itu Umar bin
Khattab pun tak sanggup menahan air matanya untuk keluar. Ia menangis dan sedih
melihat manusia yang paling dicintainya hidup dalam keadaan seperti itu,
sementara para pemimpin lainnya asyik dan nyenyak di atas tempat tidurnya.
Pembaca,
itu baru mengenai tempat tidur Nabi SAW, belum lagi sisi-sisi lain kehidupan
Nabi Muhammad SAW yang sangat sederhana. Itulah kehidupan sehari-hari pemimpin
agung yang selalu akan kita temukan kisah mengagumkan dalam setiap aspek dan
sisi kehidupan beliau. Bandingkan dengan pemimpin-pemimpin sekarang yang sering
mengobral janji di kala kampanye, tapi lupa diri ketika jabatan yang
diinginkannya telah ia rengkuh.
Pembaca,
sifat-sifat terpuji itu pun menular di kalangan para sahabat beliau SAW, kita
bias saksikan bagaimana kehidupan sehari-hari Abu Bakar, Umar dan para sahabat
lainnya yang sangat sederhana meski diamanahi menjadi pemimpin dan pejabat. Di
antara kisah-kisah mengagumkan mengenai bagaimana sederhana dan hebatnya para
sahabat beliau SAW dalam kehidupannya meski menjabat sebagai gubernur atau
pejabat adalah kisah sahabat Sa’id bin Amir Al-Jumahi ra. Beliau adalah sahabat
Rasulullah SAW yang juga menjabat sebagai gubernur di wilayah Hims pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra.
Sejarawan
Islam Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya menempatkan tokoh sepanjang zaman ini dalam
urutan pertama dalam kitabnya Shuwarum min Hayatis Shahabat. Bahkan Sayyidina
Umar pun terpana melihat budi kepemimpinannya.
Pembaca,
beliau termasuk seorang pemuda di antara ribuan orang yang pergi ke Tan’im, di luar
kota Mekah.
Mereka berbondong-bondong ke sana,
dikerahkan para pemimpin Quraisy untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman mati
terhadap Khubaib bin Adi, yaitu seorang sahabat Nabi yang mereka hukum tanpa
alasan. Dengan semangat muda yang menyala-nyala, Said maju menerobos orang
banyak yang berdesak-desakan. Akhirnya dia sampai ke depan, sejajar dengan
tempat duduk orang-orang penting, seperti Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin
Umayah dan lain-lain. Kaum kafir Quraisy sengaja mempertontonkan tawanan mereka
dibelenggu. Sementara para wanita, anak-anak dan pemuda, menggiring Khubaib ke
lapangan maut. Mereka ingin membalas dendam terhadap Nabi Muhammad SAW, serta
melampiaskan sakit hati atas kekalahan mereka dalam perang Badar.
Ketika
tawanan yang mereka giring sampai ke tiang salib yang telah disediakan, Said
mendongakkan kepala melihat kepada Khubaib bin Adi. Said mendengar suara
Khubaib berkata dengan mantap, ”Jika kalian bolehkan, saya ingin shalat dua
rakaat sebelum saya kalian bunuh…” Kemudian Said melihat Khubaib menghadap ke
kiblat (Ka’bah). Dia shalat dua rakaat. Alangkah bagus dan sempurnanya
shalatnya itu. Sesudah shalat, Khubaib menghadap kepada para pemimpin Quraisy
seraya berkata, ”Demi Allah! Seandainya kalian tidak akan menuduhku
melama-lamakan shalat untuk mengulur-ngulur waktu karena takut mati, niscaya
saya akan shalat lagi.” Mendengar ucapan Khubaib tersebut, Said melihat para
pemimpin Quraisy naik darah, bagaikan hendak mencincang-cincang tubuh Khubaib
hidup-hidup.
”Sukakah
engkau si Muhammad menggantikan engkau, kemudian engkau kami bebaskan?” kata
salah seorang pembesar Quraisy dengan nada sombong dan mengejek.
“Saya tidak
ingin bersenang-senang dengan istri dan anak-anak saya, sementara Nabi Muhammad
tertusuk duri.” jawab Khubaib mantap.
“Bunuh dia!
Bunuh dia!” teriak orang banyak. Said melihat Khubaib telah dipakukan ke tiang
salib. Dia mengarahkan pandangannya ke langit sambil berdoa,”Ya Allah!
Hitunglah jumlah mereka! Hancurkan mereka semua. Jangan disisakan seorang jua
pun!”
Tidak lama
kemudian Khubaib menghembuskan nafasnya yang terakhir di tiang salib. Sekujur
tubuhnya penuh dengan luka-luka karena tebasan pedang dan tikaman tombak yang
tak terbilang jumlahnya. Setelah peristiwa itu kaum Kafir Quraisy kembali ke
Makkah biasa-biasa saja. Seolah-olah mereka telah melupakan peristiwa maut yang
merenggut jiwa Khubaib dengan sadis. Tetapi Said bin Amir al-Jumahi yang baru
menginjak usia remaja tidak dapat melupakan Khubaib walau ‘sedetik pun’.
Sehingga dia bermimpi melihat Khubaib menjelma di hadapannya.
Dia
seakan-akan melihat Khubaib shalat dua rakaat dengan khusyu’ dan tenang di
bawah tiang salib. Seperti terdengar olehnya rintihan suara Khubaib mendoakan
kaum kafir Quraisy. Karena itu Said ketakutan kalau-kalau Allah SWT segera
mengabulkan doa Khubaib, sehingga petir dan halilintar menyambar kaum Quraisy.
Dengan
Keberanian dan ketabahan Khubaib yang disaksikan dengan mata kepala oleh Said
bin Amir dalam menghadapi maut mengajarkan kepada Said beberapa hal yang belum
pernah diketahuinya selama ini.
Pertama,
hidup yang sesungguhnya adalah hidup beraqidah, beriman, kemudian berjuang
mempertahankan aqidah itu sampai mati.
Kedua, iman
yang telah terhunjam di hati seseorang dapat menimbulkan hal-hal yang ajaib dan
luar biasa.
Ketiga,
orang yang paling dicintai Khubaib ialah sahabatnya, yaitu seorang Nabi yang
dikukuhkan dari langit.
Pembaca
sekalian, ketahuilah sejak itu Allah SAW membukakan hati Said bin Amir untuk
menganut agama Islam. Kemudian dia berpidato di hadapan khalayak ramai, menyatakan,
“Alangkah bodohnya orang Quraisy menyembah berhala.” Karena itu dia tidak mau
terlibat dalam kebodohan itu. Lalu dibuangnya berhala-berhala yang dipujanya
selama ini. Kemudian diumumkannya, mulai saat itu dia masuk Islam.
Tidak lama
sesudah itu, Said menyusul kaum Muslimin hijrah ke Madinah. Di sana dia senantiasa mendampingi Nabi SAW. Dia
ikut berperang bersama beliau, mula-mula dalam peperangan Khaibar. Kemudian dia
selalu turut berperang dalam setiap peperangan berikutnya.
Setelah
Nabi SAW berpulang ke rahmatullah, Said tetap menjadi pembela setia Khalifah
Abu Bakar dan Umar. Dia menjadi teladan satu-satunya bagi orang-orang mukmin
yang membeli kehidupan akhirat dengan kehidupan dunia. Dia lebih mengutamakan
keridhaan Allah dan pahala daripadaNYA di atas segala keinginan hawa nafsu dan
kehendak jasad.
Kedua
khalifah Rasulullah, Abu Bakar dan Umar bin Khattab, mengerti bahwa
ucapan-ucapan Said sangat berbobot dan taqwanya sangat tinggi. Karena itu
keduanya tidak keberatan mendengar dan melaksanakan nasihat-nasihat Said.
Pada suatu
hari di awal pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Said datang kepadanya
memberi nasihat. Kata Said, ”Ya Umar! Takutlah kepada Allah dalam memerintah
manusia. Jangan takut kepada manusia dalam menjalankan agama Allah! Jangan
berkata berbeda dengan perbuatan. Karena sebaik-baik perkataan ialah yang
dibuktikan dengan perbuatan. Hai Umar! Tujukanlah seluruh perhatian Anda kepada
urusan kaum Muslimin, baik yang jauh maupun yang dekat. Berikan kepada mereka
apa yang Anda dan keluarga sukai. Jauhkan dari mereka apa-apa yang Anda dan
keluarga tidak sukai. Arahkan semua karunia Allah kepada yang baik. Jangan
hiraukan cacian orang-orang yang suka mencaci.”
“Siapakah
yang sanggup melaksanakan semua itu, hai Said?” Tanya Khalifah Umar.
“Tentu
orang seperti Anda! Bukankah Anda telah dipercayai Allah memerintah umat
Muhammad ini? Bukankah antara Anda dengan Allah tidak ada lagi suatu
penghalang?”jawab Said meyakinkan.
Pada suatu
ketika Khalifah Umar bin Khattab ra memanggil Said untuk diserahi suatu jabatan
dalam pemerintahan. “Hai Said! Engkau kami angkat menjadi Gubernur di Himsh!”
kata Khalifah Umar.
“Wahai
Umar! Saya mohon kepada Allah semoga Anda tidak mendorong saya condong kepada
dunia,” kata Said.
“Celaka
engkau!” Balas Umar marah. “Engkau pikulkan beban pemerintahan ini di pundakku,
tetapi kemudian engkau menghindar dan membiarkanku repot sendiri.”
“Demi
Allah! Saya tidak akan membiarkan Anda,”jawab Said.
Kemudian
Khalifah Umar melantik Said menjadi gubernur di Himsh. Sesudah pelantikan
khalifah Umar bertanya kepada Said, ”Berapa gaji yang Engkau inginkan?”
“Apa yang
harus saya perbuat dengan gaji itu, ya Amirul Mukminin?” jawab Said balik
bertanya. “Bukankah penghasilan saya dari Baitul Mal sudah cukup?”
Tidak berapa
lama setelah Said memerintah di Himsh, sebuah delegasi datang menghadap
khalifah Umar di Madinah. Delegasi itu terdiri dari penduduk Himsh yang
ditugasi Khalifah mengamat-amati jalannya pemerintahan di Himsh.
Dalam
pertemuan dengan delegasi tersebut, Khalifah Umar meminta daftar fakir miskin
Himsh untuk diberikan santunan. Delegasi mengajukan daftar yang diminta
khalifah. Di dalam daftar tersebut terdapat nama-nama orang-orang fakir miskin
di Himsh, dan betapa mencengangkan Khalifah Umar bin Khattab karena ada nama
Said bin Amir al-Jumahi dalam daftar itu.
Melihat ada
nama Said bin Amir yang tercantum dalam daftar penerima santunan, Umar lalu
bertanya, ”Siapa Said bin Amir yang kalian cantumkan ini?”
“Gubernur
kami!” jawab mereka. “Betulkan gubernur kalian miskin?” jawab Khalifah heran.
“Sungguh,
ya Amirul Mukminin! Demi Allah! Seringkali di rumahnya tidak kelihatan
tanda-tanda api menyala (tidak memasak),” jawab mereka meyakinkan.
Mendengar
perkataan itu, Khalifah Umar menangis, sehingga air mata beliau meleleh
membasahi jenggotnya. Kemudian beliau mengambil sebuah pundit-pundi berisi uang
seribu dinar.
“Kembalilah
kalian ke Himsh. Sampaikan salamku kepada Gubernur Said bin Amir, dan uang ini
saya kirimkan untuk beliau, guna meringankan kesulitan-kesulitan rumah
tangganya,”ucap Umar sedih.
Setibanya
di Himsh, delegasi itu segera menghadap Gubernur Said, menyampaikan salam dan
uang kiriman Khalifah untuk beliau. Setelah Gubernur Said melihat pundi-pundi
berisi uang dinar, pundi-pundi itu dijauhkannya dari sisinya seraya berucap,
inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (kita milik Allah dan pasti kembali kepada
Allah).
Mendengar
ucapannya itu, seolah-olah suatu marabahaya sedang menimpanya. Karena itu
istrinya segera menghampiri seraya bertanya,”Apa yang terjadi, hai Said?
Meninggalkah Amirul Mukminin?”
“Bahkan
lebih besar dari itu!” jawab Said sedih. “Apakah tentara kaum Muslimin kalah
berperang?” tanya istrinya lagi. “Jauh lebih besar dari itu!” jawab Said tetap
sedih. “Apa pulalah gerangan yang lebih dari itu?” tanya istrinya tak sabar.
“Dunia telah datang untuk merusak akhiratku. Bencana telah menyusup ke rumah
tangga kita,” jawab Said mantap.
“Bebaskan
dirimu dari padanya!” kata istri Said memberi semangat, tanpa mengetahui
perihal adanya pundi-pundi uang yang dikirimkan Khalifah Umar untuk pribadi
suaminya.
“Maukah
engkau menolongku berbuat demikian?” Tanya Said.
“Tentu!”
jawab istrinya bersemangat. Maka Said mengambil pundi-pundi uang itu, lalu
disuruhnya istrinya membagi-bagikan kepada fakir miskin.
Tidak lama
kemudian Umar bin Khattab datang ke negeri Syam untuk melihat keadaan di sana, dan ketika beliau
singgah di Himsh, penduduknya menyambut dengan hangat dan menyalaminya, maka
beliau berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian tentang gubernur
kalian?”
Maka mereka
mengadukan kepadanya tentang empat hal, lalu Umar mengumpulkan mereka bersama
Said bin Amir dan berkata, “Apa yang kalian keluhkan dari gubernur kalian?”.
Mereka
menjawab, “Beliau tidak keluar kepada kami kecuali jika hari telah siang.” Maka
Umar berkata, “Apa jawabamu tentang hal itu wahai Sa’id?.” Maka ia terdiam
sebentar, kemudian berkata, “Demi Allah sesungguhnya aku tidak ingin
mengucapkan hal itu, namun kalau memang harus dijawab, sesungguhnya keluargaku
tidak mempunyai pembantu, maka aku setiap pagi membuat adonan, kemudian aku
tunggu sebentar sehingga adonan itu mengembang, kemudian aku buat adonan itu
menjadi roti untuk mereka, kemudian aku berwudlu dan keluar menemui
orang-orang.”
Umar
berkata, “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?” Mereka menjawab,
“Sesungguhnya beliau tidak menerima tamu pada malam hari.” Umar berkata, “Apa
jawabmu tentang hal itu wahai Sa’id?” Ia menjawab, “Sesungguhnya Demi Allah aku
tidak suka untuk mengumumkan ini juga, aku telah menjadikan siang hari untuk
mereka dan malam hari untuk Allah SWT.” Umar berkata, “Apa lagi yang kalian
keluhkan darinya?”
Mereka
menjawab, “Sesungguhnya beliau tidak keluar menemui kami satu hari dalam
sebulan.” Umar berkata, “Dan apa ini wahai Sa’id?” Ia menjawab, “Aku tidak
mempunyai pembantu wahai Amirul mu’minin, dan aku tidak mempunyai baju kecuali
yang aku pakai ini, dan aku mencucinya sekali dalam sebulan, dan aku
menunggunya hingga baju itu kering, kemudian aku keluar menemui mereka pada
sore hari.” Kemudian aku berkata: “Apa lagi yang kalian keluhkan darinya?”
Mereka menjawab, “Beliau sering pingsan, hingga ia tidak tahu orang-orang yang
duduk dimajlisnya.” Lalu Umar berkata, “Dan apa ini wahai Sa’id?” Maka ia
menjawab, “Aku telah menyaksikan pembunuhan Khubaib bin Adiy, kala itu aku
masih musyrik, dan aku melihat orang-orang Quraisy memotong-motong badannya
sambil berkata, “Apakah kamu ingin kalau Muhammad menjadi penggantimu?” maka ia
berkata, “Demi Allah aku tidak ingin merasa tenang dengan istri dan anak, sementara
Nabi Muhammad tertusuk duri…Dan demi Allah, aku tidak mengingat hari itu dan
bagaimana aku tidak menolongnya, kecuali aku menyangka bahwa Allah tidak
mengampuni aku… maka akupun jatuh pingsan.
Pembaca
yang budiman, itulah kisah mengagumkan dari salah satu sahabat Rasulullah SAW,
yang bisa kita ambil pelajaran darinya. Jika memang diamanahi dan dipercaya
menjadi pemimpin, maka jadilah engkau pemimpin yang adil dan bisa dijadikan
teladan. Pemimpin yang mengayomi dan tidak menumpuk harta kekayaan untuk
kepentingan pribadi.